Musim ini Barcelona dilanda badai cedera yang melibatkan 12 pemain. Cedera tersebut tidak hanya memengaruhi performa di lapangan, tetapi juga menimbulkan ketegangan di ruang ganti. Dibawah ini akan ada penjelasan tentang berita bola menarik lainnya di FOOTBALL ASTRO.
Banyak pemain merasa metode pemulihan baru tidak efektif, sementara staf medis terpecah pendapat, menciptakan kebingungan dalam pengambilan keputusan. Perombakan di departemen kebugaran yang dipimpin Julio Tous awalnya menjanjikan penurunan cedera hingga 50 persen.
Namun kenyataannya, cedera justru meningkat dibanding musim lalu. Intensitas latihan yang tinggi dan jadwal padat membuat pemain kunci lebih rentan, sehingga tujuan awal perombakan gagal tercapai. Situasi ini menjadi alarm bagi manajemen Barcelona. Krisis cedera yang seharusnya bisa diminimalkan justru memicu ketidakpuasan pemain dan ketidakpercayaan terhadap staf baru, sehingga membentuk pondasi konflik internal yang lebih serius.
AYO DUKUNG TIMNAS GARUDA, sekarang nonton pertandingan bola khusunya timnas garuda tanpa ribet, Segera download!
Pemberontakan Pemain: Yamal dan Balde
Lamine Yamal, wonderkid berusia 18 tahun, menjadi pemain paling vokal dalam mengeluhkan metode pemulihan. Ia mengalami cedera pangkal paha berulang dan meminta dipindahkan ke staf lain untuk penanganan cedera. Tindakan ini menandai ketidakpuasan nyata terhadap tim kebugaran baru dan memicu kekhawatiran manajemen.
Alejandro Balde juga menjadi korban konflik internal. Cedera hamstring yang dialaminya diduga disebabkan penggunaan alat gym yang salah dan instruksi yang keliru. Kasus ini menunjukkan adanya keretakan kepercayaan antara pemain dan staf medis, yang seharusnya saling mendukung.
Insiden-insiden seperti ini menggarisbawahi bahwa cedera bukan sekadar nasib buruk, melainkan dampak dari manajemen yang buruk. Kepercayaan pemain terhadap penanganan medis menjadi krusial, dan hilangnya kepercayaan itu memicu ketegangan lebih jauh.
Baca Juga: Javier Mascherano Bela Luis Suarez: Inter Miami Butuh Semua Pemain
Kesalahan Fatal Pemulihan Raphinha
Kasus Raphinha menjadi contoh paling nyata dari kegagalan metode pemulihan. Pemain Brasil itu dipaksakan berlatih berat terlalu cepat demi laga krusial, yang berakhir dengan cedera kambuhan hanya empat hari sebelum El Clasico. Kesalahan ini menegaskan bahwa ambisi klub kadang mengabaikan keselamatan pemain.
Insiden Raphinha memaksa klub mengadakan pertemuan darurat. Keputusan tegas akhirnya diambil: wewenang tim Tous dicabut, dan departemen pemulihan kembali ke format sebelumnya yang lebih dipercaya pemain. Langkah ini menunjukkan bahwa eksperimen struktur baru di awal musim gagal dan merugikan tim.
Kegagalan ini juga berdampak pada moral skuad. Pemain merasa dirugikan, sementara staf lama dan baru saling bersaing, menciptakan atmosfer kerja yang tegang dan tidak sehat di Camp Nou.
Perang Dingin Staf Medis dan Flick Terjepit
Situasi semakin rumit karena adanya perang dingin antara staf medis lama dan baru. Kedua kubu sering memberikan rekomendasi yang bertentangan mengenai kondisi pemain, membuat Hansi Flick harus menjadi penentu terakhir. Kasus Ferran Torres dan Gavi menjadi contoh nyata dilema ini.
Flick berada di posisi sulit, harus memilih antara risiko bermain atau cedera yang lebih parah. Ketidakselarasan staf medis memengaruhi performa tim di lapangan dan memperlambat pemulihan pemain. Sumber internal menyebut Barcelona sebagai “klub paling merusak diri sendiri di dunia” akibat konflik internal yang berlarut.
Konflik ego dan metode yang berbeda ini membuktikan bahwa masalah Barcelona bukan hanya soal strategi di lapangan, tetapi juga manajemen internal yang kurang harmonis. Tanpa koordinasi yang baik, krisis cedera dan ketegangan bisa terus menggerogoti performa tim utama. Manfaatkan waktu luang Anda untuk mengeksplor berita bola menarik lainnya di footballastro.com.